Rabu, 29 Mei 2013

Keadilan: Hukum Sosiologis Vs Hukum Positif

Keadilan: Hukum Sosiologis Vs Hukum Positif


Ketika seorang pejabat divonis bebas di pengadilan tindak pidana korupsi dan dalam waktu yang lain ada seorang rakyat yang divonis tiga bulan karena mencuri buah kakao, maka masyarakat menyimpulkan dengan mudah bahwa hukum tidak adil.

Ya, hukum dan keadilan adalah dua sisi yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, pandangan hukum ternyata tidak seperti itu. Bahkan para ahli hukum melihat keadilan sebagai penglihatan sosiologis (pandangan dari luar/eksternal) yang cenderung menggandengkan hukum dengan keadilan.

Padahal, keadilan dalam hukum bukan sekadar memandang keadilan dari luar (sosiologis), melainkan keadilan juga harus bersifat keadilan yuridis atau keadilan yang dipandang dari dalam/internal. Artinya, keadilan tidak boleh dilihat secara sosiologis semata, tapi keadilan harus dipandang dari ketentuan hukum yang mengaturnya.

Secara yuridis, hukum juga bisa memiliki dualisme, karena ada aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum yang lain (conflict of norm), sehingga bila orang menggunakan salah satu dasar hukum, maka dia bias dianggap bersalah menurut hukum itu, tapi sesungguhnya dia tidak bersalah dari sudut aturan hukum yang lain.

Oleh karena itu, ia menilai 40 persen kasus korupsi itu sesungguhnya bukanlah kasus pidana (korupsi), melainkan kasus dalam ranah hukum administrasi. Jadi, kasus korupsi jangan selalu dibawa ke ranah hukum pidana (Foult de Personele), tapi bisa merupakan kesalahan administrasi (Foult de Service), karena 40 persen disebabkan perbedaan persepsi terhadap ketentuan dalam UU, PP, dan peraturan perundang-undangan lainnya, bukan mencuri atau menikmati uang Negara melainkan hanya kesalahan prosedur.

Dalam konteks itulah, lolosnya sejumlah tersangka korupsi dan sulitnya rakyat kecil lolos dari jerat hukum itu, bukanlah hal yang mengesankan aparat penegak hukum mementingkan aspek yuridis, bukan aspek keadilan.

Bisa jadi, pejabat dinas pendidikan di sebuah kota yang melakukan pengadaan buku secara langsung itu merujuk pasal X Permendiknas, tapi aparat pengawas menyalahkan dengan merujuk pasal Z Permendiknas, sehingga menuduh pejabat itu melakukan korupsi karena melanggar pasal Z.

Padahal, dia tidak mencuri atau "makan" uang negara sama sekali, karena dia menggunakan uang sesuai dengan pasal X yang juga diatur dalam Permendiknas atau pejabat berwenang yang lain dan buku yang dibeli memang ada serta dapat dijadikan barang bukti.

Artinya, pejabat itu dijerat kasus korupsi bukan karena kesalahan dia, tapi kesalahan yang ada pada pasal yang berbeda, sehingga persoalan sebenarnya bukan pada pejabat, tapi persoalan ada pada peraturan yang bertentangan. Jadi, hukum secara yuridis (positivisme hukum) bisa berbeda dengan hukum sosiologis.

Secara sosiologis, masyarakat sangat mungkin menganggap hukum itu tidak adil, karena dia melihat hukum dari luar, sedangkan penegak hukum melihat hukum dari dalam (internal) terkait konstruksi hukum itu sendiri.

Bahkan, kasus Century yang bila dilihat dari luar itu kasus korupsi yang besar itu bila dilihat dari dalam sangat mungkin merupakan perbedaan persepsi terhadap UU Perbankan terkait penyertaan modal negara pada bank swasta.

Contoh serupa adalah korupsi terkait dana dari hasil pendaftaran mahasiswa dalam ujian masuk PTN yang dikelola panitia dari kalangan petinggi PTN se-Indonesia (SPMB), atau kasus dana abadi umat yang dikelola pejabat Kementerian Agama (DAU).

Kalangan petinggi PTN sangat mungkin memandang uang pendaftaran atau ujian masuk PTN itu bukan uang negara, namun pejabat keuangan bisa melihatnya sebagai uang yang harus disetor ke kas negara terlebih dulu dan bila dibutuhkan dapat diminta langsung kepada pejabat kas negara. Hal yang sama juga dialami pengelola dana abadi umat di Kemenag.

Judicial Review Hakim
Solusinya, majelis hakim hendaknya memiliki kewenangan untuk mengajukan semacam "judicial review" (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) bila menemukan perbedaan tafsir dalam perkara hukum yang sedang ditangani di pengadilan. Hal seperti ini sudah berlaku di kalangan penegak hukum di Eropa.

Bila ada "Judicial Review" dari hakim ke MK, maka akan membuka mata masyarakat bahwa ada permasalahan dalam peraturan dan majelis hakim juga tidak memutuskan kasus dengan penafsiran pribadi, sehingga masyarakat menyikapi sebagai ketidakadilan.

Namun, efektifitas hukum itu sesungguhnya sangat ditentukan tiga hal yakni :
(1) Aturan yang tidak menimbulkan perbedaan persepsi
(2) Kultur hukum
(3) Sarana penegakan hukum

Masalahnya, bukan hanya UU yang belum sempurna, tapi kultur hukum dan sarana penegakan hukum di Indonesia juga masih payah, karena kultur masyarakat masih suka jalan pintas bila berhadapan dengan hukum, sehingga korupsi pun tumbuh secara kultur mulai dari bawah hingga ke meja pengadilan tanpa disadari.

Hal yang juga masih luput dari perhatian masyarakat dan pemerintah adalah sarana penegakan hukum. Misalnya, biaya pencarian bukti hukum bukanlah hal yang murah, karena polisi yang ingin menjebak bandar narkoba itu membutuhkan uang yang banyak, lantas darimana uang itu? Jadi, biaya pencarian bukti itu pun perlu ada. Hal yang sama juga bisa berlaku untuk jaksa yang juga melakukan pencarian bukti untuk kasus yang ditangani atau dilimpahkan kepadanya.

Contoh lain, patroli kepolisian di wilayah seperti Papua atau pedalaman lain di Sulawesi, Kalimantan , dan Sumatera. Apakah cukup dengan dana patroli seperti di Jawa? Kasus inilah yang mencuat dalam kasus Freeport dan hal ini tak perlu terjadi bila ada dana patroli bagi kepolisian yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Khusus kasus narkoba bukan hanya aturan yang tidak menimbulkan perbedaan persepsi saja yang diperlukan, namun perlunya ada kajian tentang efektivitas hukuman mati untuk kasus narkoba yang sudah ada sekarang.

Perkembangan terakhir menyangkut kasus "sopir maut" Apriani Susanti (29) yang menewaskan sembilan orang dan melukai tiga orang lainnya dalam tabrakan maut di dekat Tugu Tani, Jakarta Pusat (22/1/2012). Agaknya perlu ada pertimbangan untuk memberlakukan hukuman mati untuk kasus narkoba sebagai ihtiar pencegahan, tapi hal itu perlu ada kajian dulu terkait efektivitasnya, karena kalau dihukum mati, tapi kasus narkoba tidak berkurang, tentu tidak efektif.

Kecelakaan itu terjadi pasca-"pesta ekstasi" Apriani bersama tiga temannya, yakni Adistria Putri Grani (26), Deny Mulyana (30), dan Arisendi (34), sehingga keempat tersangka dijerat Pasal 112 juncto Pasal 132 subsider Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman penjara 4-12 tahun.

Tujuan hukuman adalah mengurangi kasus pidana dan memperbaiki pelaku pidana. Kalau hukuman mati tidak mengurangi kasus narkoba, maka hukuman yang perlu diberlakukan sebaiknya diarahkan untuk memperbaiki tersangka narkoba, misalnya UU 35/2009 tentang Narkotika yang menjatuhkan hukuman rehabilitasi untuk pengguna narkoba, sedangkan hukuman penjara diberlakukan untuk pengedar dan bandar narkoba.

Untuk pengguna narkoba itu memang merupakan korban, bukan pelaku. Karena itu hukuman untuknya harus hukuman yang memperbaiki, namun untuk pelaku (pengedar dan bandar), hukuman mati dapat dipertimbangkan melalui kajian efektivitas terlebih dulu.

Bagaimanapun hukum harus berkembang sesuai dengan efektivitasnya..... (*)

Penulis : Rusdianto S, S.H., M.H.